Konsep Suku Bangsa Di Indonesia

Konsep Suku Bangsa di Indonesia Istilah suku bangsa dan kelompok etnik menurut penulis dapat saling mengganti, karena konsep dasarnya sama saja.

Untuk ensiklopedi blog berbahasa Indonesia ini istilah suku bangsa lebih tepat dipakai dalam rangka melihat bangsa Indonesia dari sudut pandang kebangsaan yang melatarbelakangi perkembangan kebudayaan, dan yang menyebabkan adanya paroh-paroh (suku-suku) bangsa.
suku indonesia

Sedangkan istilah kelompok etnik nampaknya lebih cenderung dipakai di lingkungan akademik, terutama untuk membiasakan pemakainya dengan konsep tentang kelompok-kelompok sosial yang berkembang di lingkungan ilmu-ilmu sosial-kebudayaan.

Suku bangsa menurut Koentjaraningrat (1989:154) merupakan kelompok sosial atau kesatuan hidup manusia yang mempunyai sistem interaksi, sistem norma yang mengatur interaksi tersebut, adanya kontinuitas dan rasa identitas yang mempersatukan semua anggotanya serta memiliki sistem kepemimpinan sendiri.

Definisi ini cenderung memberi batas yang "padu" seperti pengertian M. Tumin (1964) mengenai kelompok etnik dalam Dictionary of Social Science. Di sini Tumin lebih menekankan pada adanya unsur etnik bawaan (ethnic traits) yang diperoleh lewat sosialisasi sebagai dasar pengakuan diri, karena menurut Tumin kelompok etnik adalah suatu kelompok sosial yang berada dalam sebuah sistem sosial dan kebudayaan yang lebih besar dan mendasarkan pengelompokan diri mereka pada status sosial khusus karena suatu penurunan ciri etnik bawaan yang dianggap ada.

Hal ini berbeda dengan definisi Theodorson dan Theodorson (1941) dalam Modern Dictionaty of Sociology. Menurut mereka kelompok etnik adalah suatu kelompok sosial yang memiliki tradisi kebudayaan dan rasa identitas yang sama sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang lebih besar.

Tampaknya pengertian ini dekat sekali dengan pandangan bahwa suku bangsa tidak lain paroh dari suatu bangsa yang memiliki identitas yang sama dan diakui oleh orang luar.

Tokoh antropologi yang terkenal dengan konsep tentang organisasi tak berwujud (invisible organizations), Abner Cohen (1976) dalam bukunya Two Dimension of Man, beranggapan bahwa kelompok etnik adalah suatu kesatuan orang-orang yang secara bersama-sama menjalani pola-pola tingkah laku normatif, atau kebudayaan, dan yang membentuk suatu bagian dari populasi yang lebih besar, saling berinteraksi dalam kerangka suatu sistem sosial bersama, seperti negara.

Kesamaan pemikiran ketiga tokoh asing di atas adalah tentang kedudukan suku bangsa yang harus dilihat sebagai bagian dari sistem sosial yang lebih besar.

Di Indonesia pengakuan kesukubangsaan berdasarkan pandangan ini akan lebih mudah kita peroleh dari suku-suku bangsa yang sudah terintegrasi secara sadar ke dalam bangsa Indonesia Di dalarn interaksi antara sesama bangsa Indonesia itulah mereka melihat perbedaan dan kesamaan identitas suku bangsanya dengan suku bangsa lain.

Pengertian ini memungkinkan kita menggolongkan pula suatu kesatuan sosial dan kebudayaan tertentu ke dalam urutan tingkat suku bangsa atau sub-suku bangsa (sub-kelompok etnik).

Pertanyaan paling dasar biasanya ditujukan kepada bagaimana menentukan suatu standar pengukuran kesukubangsaan.

Berdasarkan pendapat Tumin (1964) identitas kesukubangsaan itu antara lain dapat dicirikan oleh adanya unsur-unsur suku bangsa bawaan (ethnic traits), yaitu natalitas (kelahiran) atau hubungan darah, kesamaan bahasa, kesamaan adat istiadat, kesamaan kepercayaan (religi), kesamaan mitologi dan ikatan totemisme. Mattulada, seorang ahli antropologi yang mendalami masalah suku bangsa Kalili di Sulawesi Tengah, mengajukan lima ciri pengelompokan pada suku bangsa ini (Mattulada, 1989).

 Pertama, adanya komunikasi antara sesama mereka, yaitu bahasa atau dialek yang memelihara keakraban dan kebersamaan di antara mereka.

Kedua, pola-pola sosial - kebudayaan yang menumbuhkan perilaku yang dinilai sebagai bagian dari kehidupan adat istiadat (termasuk cita-cita dan ideologi) yang dihormati bersama.

Ketiga, adanya perasaan keterikatan antara satu dengan yang lainnya sebagai suatu kelompok, dan yang menimbulkan rasa kebersamaan di antara mereka.

Keempat, adanya kecenderungan menggolongkan diri ke dalam kelompok asli, terutama dalam menghadapi kelompok lain pada berbagai kejadian sosial-kebudayaan.

Kelima, adanya perasaan keterikatan dalam kelompok karena hubungan kekerabatan, genealogis, dan ikatan kesadaran teritorial di antara mereka.

Jika setiap suku bangsa dicirikan oleh bahasa etnik yang mereka pakai, maka para ahli linguistik mencatat lebih dari lima ratus bahasa etnik di Indonesia (Grimes, 1984). Sementara itu penekanan ciri kesukubangsaan yang bukan hanya pada bahasa etnik dapat menyajikan jumlah suku bangsa yang lebih banyak lagi, karena dua atau lebih suku bangsa yang berbeda bisa menggunakan satu bahasa yang sama.

Seperti bahasa Sunda yang dipakai bukan hanya oleh orang Sunda Priangan, tetapi juga oleh orang Baduy, Banten, Cirebon, Naga, dan sebagainya. Seperti juga bahasa Melayu yang dipakai oleh puluhan suku bangsa.

Anggapan sebagian ahli bahwa nama suku bangsa belum tentu sama dengan nama bahasa etnik perlu mendapat perhatian. Umumnya suku-suku bangsa di Indonesia dicirikan dan dinamakan dengan nama bahasa etniknya.

Akan tetapi dalam banyak kasus nama suku bangsa dapat berbeda dengan nama bahasa etniknya. Suku bangsa Belu dan Dagada di Timor Timur, misalnya, masing-masing memakai bahasa Tetun dan Fataluku, namun pada masa sekarang nama bahasa etnik tersebut sering menjadi sebutan bagi masing-masing kelompok.

Orang Toraja di Sulawesi Selatan memakai bahasa yang dianggap sebagai salah satu dialek dari bahasa Loinang, tapi pada masa sekarang orang hanya tahu bahwa bahasa Toraja adalah bahasa suku bangsa Toraja.

Suku bangsa Batak terbagi-bagi ke dalam beberapa sub-suku bangsa karena perbedaan dialek dan unsur kebudayaan tertentu dalam pola kebudayaannya, tetapi dalam hal-hal tertentu batas-batas kesukubangsaan tersebut hilang dan mereka muncul dari identitas Batak yang sama.

Kompleksitas ciri-ciri etnik inilah yang antara lain mendorong Barth (1969) memandang perlu adanya perhatian terhadap batas-batas kesuku-bangsaan sebagai sesuatu yang bisa bersifat elastis, sesuai dengan kepentingan dan kondisi sosial.

Identitas Kesukubangsaan Istilah suku bangsa mungkin mulai banyak dipakai di Indonesia sejak tahun enam puluhan, terutama untuk melengkapi istilah "suku" yang digunakan untuk menyebut kesatuan hidup dengan ciri-ciri kebudayaan tertentu.

 Istilah ini menjadi penting artinya untuk menutupi ruang kosong yang ditinggalkan oleh kesatuan-kesatuan hidup yang semula dikenal sebagai "bangsa", yaitu ketika "bangsa Indonesia" muncul sebagai suatu kesatuan hidup pengisi negara Indonesia.

Dengan demikian posisi "bangsa" yang semula dimiliki oleh orang Aceh, Batak, Minang-kabau, Jawa, Sunda, Bali, Bugis, Ambon dan sebagainya beralih menjadi "paroh-paroh bangsa", atau lebih tepat lagi "suku-suku bangsa" di Indonesia.

Kemunculan ciri-ciri kehidupan sosial-kebudayaan yang menekankan adanya identitas kesukubangsaan di lingkungan sosial yang lebih besar tersebut sesuai dengan pendapat Theodorson dan Theodorson (1941), bahwa ini merupakan " bagian dari kelompok masyarakat yang lebih besar"; pendapat Tumin (1964): " berada dalam sebuah sistem sosial yang lebih besar"; pendapat Cohen (1976): " membentuk suatu bagian dari populasi yang lebih besar, dan saling berintcraksi dalam suatu kerangka sistem sosial bersama seperti negara".

Sehingga sesuai dengan pandangan Brunner (1974), bahwa peranan kesuku-bangsaan makin aktif dan menonjol ketika hubungan sosial antar suku bangsa itu makin meningkat dalam interaksi suatu bangsa dari sebuah negara seperti Indonesia sekarang.

Pembentukan negara dan bangsa Indonesia tidak menjadikan masing-masing suku bangsa itu menjadi punah atau tenggelam, karena masing-masing masih tetap mempertahankan identitas kesukubangsaan tertentu dalam rangka interaksi mereka dalam lingkungan kesatuan hidup yang lebih luas. Sejak awal kenyataan tersebut sudah disadari oleh bangsa Indonesia, sehingga diungkapkan dalam motto kesatuan bhinneka tunggal ika.

Motto ini dapat diartikan sebagai berbeda-beda suku bangsa tetapi sama-sama satu bangsa Indonesia. Jika Barth (1969) berpendapat bahwa suku bangsa haruslah dilihat sebagai sebuah organisasi sosial, karena dengan demikian ciri-ciri yang penting sebagai sebuah kelompok etnik akan tampak, yaitu "karakteristik dari pengakuan oleh diri sendiri dan pengakuan oleh orang lain", maka yang kita perlukan sekarang adalah pemahaman tentang bagaimana prosedur "pengakuan" tersebut berlaku dalam hubungan antar kelompok etnik dalam konteks kehidupan suatu bangsa seperti Indonesia.

Dalam rangka penulisan blog ensiklopedi ini perlu kiranya ditemukan kunci dari perwujudan "pengakuan" tersebut. Menurut penulis konsep kesukubangsaan orang Indonesia muncul beriringan dengan terbentuknya kesadaran para warganya sebagai suatu bangsa.

Ketika Sumpah Pemuda 1928 sebagai simbol pengakuan kebangsaan diterima oleh masyarakat Indonesia yang majemuk, maka sebagai umpan baliknya orang makin menyadari asal-usul dirinya. Pengakuan kepada adanya nusa, bangsa, dan bahasa yang sama sebagai atribut utama warga suatu bangsa "baru", mendorong timbulnya pemikiran tentang posisi nusa, bangsa, dan bahasa aslinya.

 Jika identitas kebangsaan ditentukan oleh adanya nusa, bangsa, dan bahasa kesatuan, maka pada tingkat kesuku-bangsaan juga dituntut adanya keterikatan emosional seseorang dengan daerah asal dirinya atau kelompoknya, dengan kesatuan sosial yang memberinya kedudukan sosial dasar, dan dengan bahasa etnik yang menjadi alat komunikasi utama dalam kelompok etniknya.

Dengan pemahaman demikian, maka pengakuan kesukubangsaan paling mudah diungkapkan orang dengan mengacu kepada atribut kedaerahan




Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Konsep Suku Bangsa Di Indonesia"

Posting Komentar